Lewati navigasi

Ditengah kondisi Industri musik Indonesia yang carut marut dan menyalahkan monster pembajakan, ditengah digdayanya band-band pop menye-menye, ditengah latahnya band-band membuat album rohani dadakan ketika bulan Ramadhan, ditengah latahnya artis sinetron ikutan nyanyi seperti Ussy dan BBB, ditengah asiknya mendulang emas lewat lagu one-hit-wonder dalam ring back tone, ditengah banyaknya festival untuk menggaet musik nggak keren yang gitu-gitu-aja. Adakah secercah harapan untuk melahirkan musik-musik keren???

 

Jikamesti menjawab, tentu saja ada. Sudah bukan hal yang utopis lagi untuk melahirkan musik keren tanpa pembendungan kreativitas. Akankah ada suatu pola budaya baru untuk melahirkan musik keren tanpa pendiktean major label. Jawabnya: Biarkan musik anda berputar dan terbang bebas dinikmati siapapun! Let’s spinnin’ your music to the world…

Free music bisa menjadi oksigen buat para musisi ‘tulus’. Tentu saja tulus di sini dalam artian musisi yang tulus menyebarkan musiknya, meski tanpa harapan profit berlebih. Karena fakta sebenarnya justru band-band besar pun (major label) meraih banyak keuntungan dari manggung dan bukan dari royalti album. Jadi, oksigen free music bagi para musisi tulus mesti dihirup sebaik-baiknya agar mereka bisa bernafas.

Ada fakta-fakta menarik seputar free music bagi industri musik Indonesia belakangan ini: Adanya net-label asal Yogyakarta yaitu Yes No Wave yang merilis musik-musik keren secara cuma-cuma dan bisa didownload via situs mereka http://www.yesnowave.com
Band industrial goth-rock asal Bandung, Koil merilis album terbarunya Black Light Shines On secara free dan bisa didownload di situs webzines http://www.deathrockstar.info
Media-media social-networking dan media sharing semacam Multiply dan Myspace membuat semua orang bisa mendistribusikan musiknya secara cuma-cuma.
Bertebarannya MP3 blog lokal macam http://www.postrockerz.blogspot.com
Apakah ini suatu revolusi model bisnis musik di Tanah Air?

Hohoho… seorang teman pernah berujar pada saya, bahwa menurutnya di era masa yang akan datang justru tidak akan lagi batasan antara mana musisi dan audience. Karena fenomenanya semua orang kini bisa menciptakan musik dan menyebarkannya secara cuma-cuma, saking gampangnya. Apalagi dukungan media internet yang sudah semakin mudah, membuat teman saya bisa berujar bahwa internet itu sudah setingkat dibawah tuhan hahaha…

Yup, saya merasa fenomena budaya free music di internet ini justru merasa membuat kita kembali dengan fenomena cassette culture atau C86 scene pada medio tahun 80-an. Sekedar info, cassette culture adalah fenomena budaya untuk membagi-bagikan musik antara musisi dengan fans lewat media kaset (karena CD atau iPod belum familiar waktu itu) secara gratis. Dan C86 scene adalah embrio musik britpop lewat media NME untuk membagikan musik mereka secara gratis pula. Jadi, apakah saat ini kita bakal kembali dan menjadi revival budaya yang sama?

Ok, untuk menjelaskan tentang what, where, when, why, who, dan how tentang fenomena budaya seperti ini ada tulisan yang dibuat oleh Thomas Jeffrerson dari netlabel Irdial Disc:

Arti istilah “Free Music” itu sendiri?
Artinya mirip dengan istilah Free Software. Kata “free” di sini tidak mengacu pada masalah harga tetapi pada “freedom”kebebasan. Jadi, Free Music merupakan suatu konsep di mana setiap individu memiliki kebebasan untuk memperbanyak, menyebarluaskan dan memodifikasi musik untuk tujuan personal dan non-komersial. Itu tidak berarti bahwa Free Music melarang record label dan para musisi untuk memasang harga pada setiap hasil rekaman mereka seperti kaset, CD ataupun data. Dengan kata lain, definisi di atas mengindikasikan bahwa beberapa obyek tertentu memang tidak bisa dibuat gratis. Akan tetapi, penggunaan suatu obyek yang bisa diperbanyak berulang kali, seperti halnya musik, haruslah digratiskan. Ketika kita menyebut kata musik, kita sedang mengacu pada setiap pengekspresian ide (dalam bentuk komposisi musikal atau suatu rekaman suara) dalam suatu media, dan bukan media itu sendiri. Oleh karenanya anda memiliki kebebasan untuk membuat kopi dari CD yang kami rilis, kebebasan mengunduh data lagu dari server kami melalui Internet, kebebasan meng-cover atau memodifikasi lagu yang telah kami rilis, hanya selama anda tidak memperoleh profit dari hasil pengkopi-an dan modifikasi tersebut.

Bukannya para musisi akan mati kelaparan jika mereka menggratiskan musiknya?
Selama ini, para musisi mendapat pemasukan dari sumber yang bervariasi: penjualan album, penjualan merchandise serta tiket konser, juga royalti dari tiap lagu yang disiarkan radio (ini tentu saja hanya berlaku bagi para musisi rock besar yang sudah lama malang melintang di dunia musik). Menggratiskan musik tentu tidak berpengaruh besar terhadap penjualan merchandise dan tiket konser.

Sebaliknya, ini akan meningkatkan jumlah penjualan karena orang akan terus mendukung artis idolanya dengan datang ke konser dan membeli merchandise mereka. Profit dari penjualan album juga tidak akan terpengaruh karena setiap orang akan terdorong untuk membeli langsung dari sang artis atau labelnya demi mendapatkan bonus tambahan seperti liner-note, lirik ataupun kemasan album itu sendiri. Free Music bisa menjadi sebuah sarana pemasaran yang menjamin bahwa tidak ada satupun musisi yang kelaparan. Dan tentu saja, bagi para musisi yang bervisi ke depan, yang tidak melakukan tur dan pergi dari satu panggung ke panggung yang lain seperti pendahulu mereka, Free Music adalah sesuatu yang cukup seduktif. Ini adalah sebuah kesempatan untuk mendapat pendengar yang tidak tertarik pada pola lama yang dipakai musisi untuk membangun basis fans, yaitu kalangan yang mungkin lebih matang secara musik dan lebih berpengalaman sehingga benar-benar siap menerima suatu inovasi nyata dalam musik. Orang-orang inilah yang biasanya memberikan “donasi” pada label atau musisi, jika mereka menemukan sesuatu dari musik yang mereka kopi itu, sebagai wujud pemahaman mereka akan sulitnya memproduksi musik berkualitas tinggi. Praktik donasi ini bisa menjadi suatu tradisi di masyarakat, seperti halnya kultur pemberian tips yang, walaupun tidak memiliki peraturan yang mengharuskan, tetap dipraktekkan orang sampai sekarang. Sementara itu, walaupun belum ada cara yang lebih mudah untuk membuat dan memasarkan merchandise, itu sudah dapat dilakukan tanpa biaya awal yang membebani artis, misalnya melalui jasa pelayanan seperti Café Press.

Bagaimana cara anda membebaskan musik?
1. Kami telah memasukkan musik-musik kami dalam server-server dalam jaringan Internet; anda dapat mengakses data-data tersebut di sini.
2. Kami menyertakan pula catatan berikut dalam setiap data musik yang kami rilis:

Anda telah diberi izin untuk meng-kopi, dan mendistribusi setiap komposisi musikal dan rekaman suara dalam album ini, dengan syarat anda mengikutsertakan pula catatan ini di setiap kopian yang anda buat. Adapun distribusi hanya diperbolehkan untuk tujuan-tujuan non-komersial. Jika anda membaca ini dalam suatu data musik yang anda kopi, dan jika menurut anda musik tersebut memiliki nilai tertentu dan anda berniat memberi dukungan pada artis yang membuat musik tersebut, anda bisa membuat donasi yang jumlahnya sesuai dengan keinginan anda dan mengirimnya ke alamat yang tercantum dalam catatan ini. Serta cantumkan pula kopian dari dokumen ini, yang merupakan adaptasi dari dokumen yang asli. Jika anda benar-benar mendukung ide Free Music Philosophy dan memiliki situs dalam jaringan Internet, membuat link ke situs kami akan sangat berguna.
Sudahkah menyimak tulisan di atas. Mungkin masih terlalu naif buat kondisi industri musik Indonesia. Namun berprinsip seperti Yin dan Yang, maka mesti ada penyeimbang buat industri rekaman di Indonesia yang stagnan dengan musik poppishnya, label rekaman yang bangkrut, keimpotennannya para A&R dalam mengendus band keren, dsb. Dan mungkin saja pola budaya seperti ini bakal menjadi trigger lahirnya band-band keren, mungkin dengan munculnya netlabel-netlabel tanah air yang baru, gencarnya MP3 blog lokal, pola trading dan CD-R mode album-album band lokal sebagai alternatif distribusi, hingga bermunculannya band-band yang lebih variatif dengan kreativitasnya muncul ke permukaan dan ‘mengencingi’ industri musik Indonesia. Mudah-mudahan pola budaya seperti ini bisa menciptakan budaya yang keren seperti halnya cassette culture dan C86 scene bagi kondisi tanah air. Who can predict it???

Tinggalkan komentar